Permisi semua, gw mau share cerita seks birahi hasil karya gw sendiri nih. Sorry kalo ketikannya acak-acakan.
Mohon maaf kalo ada kesamaan nama atau tema cerita seks birahi, tapi berani sumpah disamber MILF ini hasil jerih payah gw ngetik sendiri. hehe
Silakan dibaca dengan khidmat, kalo respon positif gw bakal lanjutin part 2 nya.
Wasalam.
Namaku Doni, umurku 26 tahun dan belum
menikah. Kisah ini adalah sepenggal cerita hidupku beberapa tahun yang
lalu, kala aku masih tinggal di sebuah rumah kos kosan di daerah jakarta
selatan.
Aku bekerja di sebuah perushaan swasta
di bilangan kuningan. Aku tinggal jauh dari keluarga dan merantau
sendiri semenjak kuliah. Alhamdulillah tak lama setelah lulus aku segera
di terima di sebuah perusahaan yang lumayan besar di kota jakarta. Pada
awalnya aku agak kebingungan mencari tempat tinggal, apalagi demi
menghemat ongkos aku lebih mengutamakan yang tidak terlalu jauh dari
tempat kerjaku. Apalagi saat itu gajiku masih standar fresh graduate,
otomatis aku harus mencari yang harganya pas di kantong.
Untungnya aku menemukan sebuah kos kosan
khusus karyawan dan karyawati yang nyaman dan lumayan murah meskipun
tidak terlalu baru. Apalagi lokasinya berada di daerah cawang yang masih
bisa dalam jarak tempuh kendaraan umum (meskipun alhamdulillah tak
berselang beberapa bulan aku dapat mengkredit motor hingga tak lagi
harus berjubel di transjakarta)
Kisah ini bermula ketika ada seorang
penghuni baru yang pindah ke seberang kamarku. Tadinya aku memang
sengaja memilih tempat yang cukup strategis yaitu di pojok ujung dekat
dengan dapur umum (sebenarnya hanya dapur sederhana dengan satu buah
kompor dan tempat cuci piring). Kenapa strategis? Menurutku karena
tempatnya di ujung lorong sehingga tak banyak orang yang lalu lalang,
lagipula selama ini hampir tak ada yang menggunakan dapur tersebut
karena rata rata penghuni kosanku itu adalah karyawan/i yang notabene
tak punya banyak waktu untuk masak memasak. Paling hanya sekedar cuci
piring saja.
Namun sore itu itu aku melihat sesosok wanita berambut panjang yang
tengah asik menggoreng sesuatu didepan kompor. Sekilas dari belakang aku
tidak mengenali sosok tersebut dan kupikir mungkin saja ini penghuni
baru.
Baru saja aku membuka kunci dan hendak
masuk kekamar, tiba tiba wanita itu berbalik dan memandangiku sambil
kemudian menyapaku ramah.
“Permisi mas.. Mas yang nempatin kamar depan ya? Saya baru aja pindah tadi pagi ke kamar seberang. Saya nila..”
Ia kemudian mengulurkan tangannya ramah sambil tersenyum manis.
“Doni..” Ujarku pelan sambil menjabat ringan tangannya.
Jujur aku jadi agak salah tingkah dan
kikuk.Mungkin karena jarang aku bisa berkenalan langsung dengan penghuni
kosanku. Ya, dari sekian banyak penghuni kosan ini aku hanya tahu satu
dua nama saja penghuni kamarnya. Itupun yang letaknya tak jauh jauh dari
kamarku. Mungkin itu sifat individualistis masyarakat jakarta, berbeda
jauh keadannya kala aku masih kuliah di bandung dulu. Dulu aku bisa
akrab dan kenal penghuni kosanku. Antara penghuni kosan bisa saling
akrab dan erat meskipun berjauhan kamarnya, berbanding jauh dengan
keadaan kosanku yang sekarang dimana hampir setiap penghuninya tidak
saling kenal mengenal.
Singkat cerita, akupun jadi cepat akrab
dengan mbak nila penghuni kamar seberang kosanku (mungkin karena kami
sesame pernah tinggal di bandung). Mbak nila yang memang cantik dan
ramah perlahan seperi menjadi figur kakakku di kosanku. Ia berasal dari
bandung, dan telah menikah. Ia tadinya bekerja di kantor cabangnya di
bandung dan akhirnya dipindah ke kantor pusat yang di jakarta.
Meskipun aku tak pernah tahu umur
aslinya berapa, namun perkiraanku ia berkisar di 20an akhir atau 30an
awal. Ia juga bercerita bahwa ia telah menikah dan memiliki seorang anak
yang telah berumur 5 tahun yang keduanya masih tinggal di bandung. Ia
mengakui awalnya memang berat pergi meninggalkan keluarga, namun
untungnya ia mendapat dukungan penuh dari suami dan keluarganya hingga
ia pun mengiyakan kesempatan itu.
Pernah beberapa kali aku berkesempatan
bertemu dengan suaminya mas sofyan dan gibran anaknya kala mereka
bergantian bertandang ke jakarta ke kosan mbak nila. Mas sofyan dan
gibran pun dapat cepat akrab denganku walau baru saja berkenalan,
sehingga akupun jadi merasa makin bertanggung jawab secara moril untuk
menjaga dan membantu mbak nila di kosan ini.
Malam itu aku pulang sedikit larut dari
biasanya. Aku merasa kurang enak badan saat itu, apalagi ditambah beban
kerja yang banyak membuat keadaanku makin drop. Akupun jd tak enak
karena biasanya sepulang kerja aku janjian dengan mbak nila untuk pulang
bersama kekosan, namun apa boleh buat waktu itu memang pekerjaanku
sedang banyak banyaknya jado terpaksa mbak nila pulang duluan.
Ketika aku melangkah ke lorong menuju
kamarku, masih terdengar suara orang memasak dari dapur umum. Tak lain
itu adalah mbak nia yang sudah tiba terlebih dahulu dan sepertinya
tengah asyik memasak sesuatu.
“Mbak.. Aku minta maap ya tadi pulang sendiri, terpaksa lembur nih karena banyak kerjaan.” Tegurku.
“Eh don, baru pulang yah? Iya gapapa kok
santai aja.. Kamu pucet sih? Belom makan ya? Nih mbak masakin cap cay
nih buat kamu makan malem.” Ujar mbak nila lagi
“Duh gausah mbak, aku lagi ga enak badan nih. Buat besok sarapan aja yaa.. aku kayanya mau langsung tidur aja.”
“Loh ngga bisa ah, kamu lagi sakit gini kok malah ngga makan. Udah pokoknya makan dulu sana, baru tidur istirahat. Yuk.”
Akupun tak bisa mengelak lagi dari
komando mbak ku ini. Dengan langkah malas aku masuk kedalam kamar dan
berganti baju kemudian menghabiskan cap cay mbak nila meskipun saat itu
aku kurang bernafsu makan.
Tak lama setelah aku makan, terdengar ketukan di pintu kamar.
“Don.. Udah makannya? Mana sini piringnya..”
Akupun membuka pintu dan menyerahkan
piring kotor tadi dan kemudian segera balik badan merebahkan badan lagi
di kasur berusaha memejamkan mata.
“Masih puyeng yah? Meriang badannya?”
Aku tak menjawab dan hanya menggangguk saja sembari menangkup mataku dengan lenganku.
“Yaudah mbak kerokin ya.” Ujarnya pendek.
“Nggausah mbak aku ga biasa dikerok.. Sakit.” Tolakku.
Namun percuma saja, karena apabila mbak nila sudah memberi komando, tak ada apapun yang bisa menghalanginya.
Dan benar saja, tak lama mbak nila masuk
kembali kekamarku membawa minyak pijat berwarna bening diatas mangkok
kecil beserta botol botolnya.
“Mana sini punggungnya, cepetan duduk.”
“Ah nggamau ah mbak, aku gasuka bau minyak angin.”
“Ini minyak zaitun kok, bukan minyak angin. Udah sini cepetan mbak udah bawa uang gopek nih.”
“Duh nggamau mbak, aku gasuka dikerok. Dipijit aja deh…” Ujarku menolak dengan nada memelas.
Akhirnya setelah proses tawar menawar
yang sadis, mbak nila setuju hanya memijitku saja. Akupun duduk
memunggunginya dengan ogah-ogahan. Ya beginilah akrabnya kami berdua.
Seperti yang kubilang tadi mbak nila sudab kuanggap kakak sendiri, dan
mungkin juga mbak nila telah menganggapku sebagai adiknya sendiri, jadi
tidak ada rasa canggung atau malu-malu lagi.
“Tuh liat, dipijit gini aja merah. Udah ya dikerok aja sekalian?” Ujar mbak nila lagi berusaha Menawar lagi.
“Udah mbak gausaaaah.. Dipijet aja udah itu aku tidur.” Ujarku malas
“Yaudah terserah kamu deh..”
Lama kelamaan kurasakan enak juga pijatan mbak nila. Kupikir enak juga ya apabila punya istri nanti.. Hehe.
Selama memijit pun aku tak pelak menjadi
korban candaan mbak nila. Ia tahu aku sensitif orangnya, jadi sesekali
iya menggelitiki pinggangku yang membuatku menggeliat seperti kesetrum.
“Eh! Eh! Udah ah mbak, pundung nih aku..”
“Hihi iya iya.. Gitu aja pundungan dasar. Yaudah sekarang depannya sini.”
Mbak nila kemudian menepuk pundakku sehingga aku membalik badan bersila berhadap-hadapan dengannya.
Dengan wajah serius mbak nila meraba dan
mengurutkan tangannya yang licin oleh minyak zaitun di dadaku. Kuakui
efek minyak zaitun ini enak juga, bisa menghasilkan hangat namun tidak
sepanas dan lengket seperti minyak angin. Nyaris seperti minyal goreng.
Belum lama aku menikmati pijatannya di
dadaku, lagi lagi aku jadi korban kejahilan mbak nila. Kali ini puting
ku yang jadi sasarannya. Masih seperti tadi, mulanya ia memijat dengan
serius namun tiba-tiba ia dengan cepat mencolek putingku.
“Akh! Mbak!” Ujarku sambil
menggelinjang. Sementara dilain pihak mbak nia terkekeh puas melihat
reaksiku. Bukan apa-apa sih, tapi colekannya itu bukan hanya geli tapi
juga menimbulkan sensasi enak sehingga membuatku sedikit risih juga.
Apalagi kini intensitas kejahilan
colekan mbak nila makin menjadi-jadi. Aku dibuatnya jadi terus
menggeliat-geliat. Lama lama aku jadi tak tahan juga, kuputuskan untuk
menggigit bibirku saja daripada nanti malah kecolongan mendesah, bisa
malu aku jadinya.
Namun mbak nila malah jadi makin gemas,
melihatku menahan diri seperti itu membuatnya makin bersemangat
memancing desahanku. Sekali waktu mbak nila benar-benar menggelitiki
kedua putingku dengan kedua telunjukknya yang licin dengan cepat hingga
badanku sedikit melengkung kedepan sambil mencengkram karpet kuat-kuat.
Aku tak mampu lagi mengelak kalau aku jadi bernafsu dibuatnya. Ingin
rasanya aku mendesah kuat-kuat sambil melolong keenakan.
“Ah udah ah, kamu jadi keenakan gitu kesenengan.” Ujar mbak nila menyudahi kelitikannya.
“Hmmmhaaaaaa…” Aku menghela napas
panjang melepaskan gigitan bibirku sendiri. Kepalaku rasanya ringan, dan
darahku mengalir cepat. Mau tak mau Aku jadi terangsang juga akibat
kejahilan mbak nila. Ada rasa malu antara tertangkap basah, dan juga
sensak nagih yang membuatku serba salah. Tapi tentu kutahan saja karena
untungnya akal sehatku masih berjalan. Padahal kala itu mbak nila hanya
mengenakan daster tanpa lengan dan rambut diurai. Apabila orang lain
yang berada dalam posisiku, pasti sudah habis diterkam mbak Nila.
“Tuh jadi keras gitu tuh..” Ujar mbak
nila menahan tawa. Spontan wajahku memerah, akupun membenarkan posisi
dudukku. Kuharap mbak nila tadi menyindir putingku yang jadi keras
akibat kenakalannya tadi, bukan gundukan lain yang memang juga telah
mengeras didalam boxerku.
“Udah rileks lagi, kok jadi tegang gitu sih..” Ujar mbak nila lagi memecah keheningan sembari menepuk perutku yang rata.
“Sini dikasih minyak lagi biar ga kembung..”
Mbak nila pun mengusap-usap perutku
dengan permukaan tangannya. Akupun berusaha kembali mengontrol diriku.
Perlahan aku berusaha menurunkan birahiku yang tadi sempat meluap luap.
Dalam hati aku terus menahan diri dan beristighfar, sembari terus
kuingat ingat wajah mas sofyan dan gibran di benakku. Mbak nila sudah
kuanggap mbakku sendiri, begitu pula mas sofyan dan gibran yang sudah
kuanggap mas dan ponakanku sendiri, jadi mana tega aku berbuat
macam-macam terhadap mbak nila. Namun kenyataannya kami berdua adalah
pasangan lawan jenis, yang berdua-duaan didalam kamar tertutup, dengan
keadaan yang sebenarnya kurang pantas pula dimana aku nyaris telanjang
hanya mengenakan boxer dan mbak nila hanya mengenakan selembar daster
tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
“Udah jangan ditahan-tahan.. Hihihi” goda mbak nila lagi.
Disaat saat aku tengah berupaya keras
menurunkan gairahku, mbak nila malah menjahiliku lagi dengan mulai
kembali mengelus putingku dengan sebelah tangannya.
“A-aduh mbak.. Udah dong.. Ampun..” Ujarku memohon mohon dengan suara parau.
Mbak nila kali ini tak berkata sepatah katapun, melainkan terus mengusap putingku dan perutku lembut.
Tanpa kusadari mata mbak Nila sedari
tadi memandangi gundukan dibalik celana boxer ku itu. Entah dorongan
darimana, tiba-tiba saja mbak Nila mendekatkan bibirnya ke telingaku dan
berucap lembut.
“Don, kamu mau cepet enakan ga badannya?
Hmm, tapi janji ya jangan cerita ke siapa-siapa. Sekali ini aja loh.
Mbak ngomong beneran nih.” Ucap Mbak Nila serius.
“E-emang mo ngapain mbak? Iya iya janji deh.” Jawabku cepat karena didorong oleh rasa penasaranku.
Tangann mbak Nila yang masih licin oleh
minyak zaitun terasa begitu menenangkan mengusap perutku perlahan
bergerak semakin kebawah..kebawah..dan terus kebawah tanpa kusadari.
Disela-sela buaian kenikmatan usapan telunjuknya di putingku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sensai lain.
Tangan kanan mbak nila yang sedari tadi
merambat di perutku kini sudah turun hingga kedalam boxerku. Telapak
tangannya yang halus dan lembut juga hangat oleh minyak zaitun kini ikut
menjahili bagian lain dari diriku yang tak kalah sensitif. Menjahili
mungkin kata yang kurang pas, yang lebih tepat mungkin adalah mencabuli.
Ya, mbak nila secara tiba-tiba sudah
menggengam batang kemaluanku erat-erat dan meremasnya perlahan. Dengan
ekspresi kaget dan shock aku menoleh dan memandang mbak nila secara
serta merta. Matanya yang kini juga tak kalah sayu dariku, membalas
tatapanku lembut.
“Enak ga..?” Tanya nya dengan suara
lirih. Ia pun bergerak mendekatan wajahnya hingga tinggal berjarak
sejengkal dari wajahku. Lalu mbak nia pun berbisik pelan.
“Nanti gantian ya mbak juga…” Ujarnya sambil tersipu namun juga terdengar memohon.
Seusai ia berbisik, mbak nila langsung
tancap gas. Bermodalkan minyak zaitun yang tersisa di tangannya, mbak
nila kemudian mengocok batang kemaluanku dengan cepat.
“COK.. COK.. COK.. COK..!!”
Bunyi gesekan becek antara tangannya
yang licin dan kulit kemaluanku menggema di kamar kosku. Jujur semuanya
terjadi begitu cepat, aku bahkan tak begitu ingat jelas bagaimana semua
bisa terjadi. Yang jelas seketika saat itu pandanganku langsung kabur,
kepalaku terasa kosong, dan badanku terasa ringan. Dan yang jelas
burungku terasa nikmat sekali. Meski saat itu mbak nila masih mengusapi
putingku, namun rasanya sudah terkalahkan oleh nikmat kocokan mbak nila.
Nikmat yang menjalar-jalar hingga keseluruh tubuhku, membuat badanku
tak mampu kukendalikan. Kakiku menjejak kuat-kuat di karpet, sembari
tanganku juga ikut menjambak karpet menahan gebrakan kenikmatan yang
begitu dahsyat ini.
Diantara kaburnya pandanganku saat itu,
aku sekilas melihat mbak nila meloloskan bahu daster sebelah kirinya
hingga payudaranya meloncat keluar. Kemudian ditariknya kepalaku hingga
mendekat ke dadanya. Seketika jadi begitu jelas payudara montok mbak
nila yang tepat berhadapan begitu dekat dengan wajahku. Nampak putingnya
yang kecoklatan, dikelilingi oleh bintik-bintik kecil yang tak kalah
menggiurkan.
Tanpa diperintah oleh mbak nila, Akupun
menuruti instingku. Dengan serta merta kulahap dada mbak nila yang
terasa begitu manis dagingnya didalam mulutku. Bak bayi kehausan, kuisap
dan kukecup dalam dalam puting susunya yang kenyal itu.
“Hmfffhhh..!! Mmmhhhffff…”
Mbak nila tak lagi bisa berbicara dan
hanya mengerang-erang manja sembari tangannya menahan kepalaku seperti
tengah benar-benar menyusui bayi. Baru kali itu kudengar mbak nila
mengeluarkan erangan yang sebegitu erotis yang membuatku kian bergairah
menyusu padanya.
“Hmmmhhhh…clup clup..nyammmhhh…sllrrrrppp”
Dengan semaunya terus kukemut dada mbak
nila dengan kesetanan. Tak mau kalah, tangan mbak nila juga tak
menurunkan tempo kocokannya dan terus menggerakan lengannya naik turun
dan kekanan kekiri liar. Kami berdua sama-sama terbuai kenikmatan
terlarang.
Hingga akhirnya aku merasakan tubuh
bagian bawahku seperti kaku. Semuanya terjadi hanya dalam hitungan
detik. Buah zakarku mengencang, batang penisku berkedut kedut, dan
akhirnya kesemua gerakan tersebut memompa keluar cairan benihku yang
berlimpah. Badanku melayang, bagai diterpa ombak kenikmatan hingga
serasa seperti mati rasa, tak memperdulikan semburan demi semburan yang
mengotori tangan halus mbak nila serta boxer yang kukenakan.
“Aakkhhh…”
Mbak nila terpekik antara kaget dan
senang ketika merasakan tangannya basah. Ia sebenarnya sudah hapal
dengan kedutan kedutan yang ia rasakan di telapak tangannya sebelumnya.
Namun tetap saja sensasi klimaks diriku itu juga memberikan sensasi
kepuasan baginya. Diperahnya batangku hingga benar-benar kering ke tetes
terakhir. Sekilas malah seperti ia tengah mencekik batangku hingga
ciut. Dibiarkannya spermaku membanjiri tangannya, meleleh-leleh dengan
bebas.
Hingga akhirnya aku kembali mendarat dari klimaks yang dahsyat itu barulah mbak nila melepaskan cengkramannya.
Dengan sangat hati-hati ia menarik
keluar tangannya dari dalam boxerku. Entah takut spermaku jatuh menetes
kemana-mana, atau memang ia begitu sayang dengan cairan kotorku itu.
Yang pasti setelah itu mbak nila tak lantas cepat-cepat membersihkan
tangannya, melainkan memandangi cairan kental itu meleleh di tangannya.
Dipandangainya lekat-lekat, bahkan diendus-endusnya.
“Uhhm.. Lengket banget don, amis lagi. Pasti kamu udah lama ga keluarin yaa.. Hehe.” Ujar mbak nila sambil terkekeh.
Aku hanya bisa diam tak tahu mesti menjawab apa.
Bau khas sperma yang menyengat itu
membumbung di ruang kosanku. Mbak nila dengan perlahan menyeka spermaku
yang meleleh di tangannya dengan tissue. Sementara itu aku masih agak
terengah-engah akibat klimaksku barusan. Semuanya masih seperti mimpi
bagiku. Aku masih berusaha mencari tahu apakah ini semua nyata terjadi
atau sekedar mimpi? Apakah ini mimpi indah atau mimpi buruk? Aku tak
tahu pasti.
Disaat aku masih berusaha sadar itu
perlahan mbak nila kembali mendekat. Aku masih mengerjap-ngerjapkan mata
melihat sosoknya yang nyaris telanjang itu. Sebelah payudaranya
bergantung bebas, nampak bekas merah dan basah oleh liur. Benarkah itu
liurku? Aku menelan ludah dengan susah. Kemudian dengan lembut mbak nila
menggenggam sebelah tanganku dan menempatkannya di sebelah dadanya yang
masih tertutup dasternya.
“Ayo dong kan tadi udah janji mau
gantian..” ujar mbak nila dengan manja malu-malu. Aku masih tak tahu
harus berbuat apa. Tapi yang pasti setelah itu mbak nila membimbing
tanganku untung meremas-remas payudaranya dari luar daster. Terasa
kenyalnya, dan puting susunya yang kini juga sudah ikut mengeras menusuk
telapak tanganku dari dalam dasternya.
Tanpa banyak berbicara lagi mbak nila
menarik tanganku yang satunya lagi dan mengarahkan telunjukku ke
putingnya yang satunya lagi, mengisyaratkan agar aku memainkannya
seperti ia memainkan putingku tadi. Dan aku bodohnya hanya diam saja
mengikuti permintaannya. Entah kenapa aku tak bisa menolak dan ikut
menggerakan tanganku seperti keinginannya. Perlahan tapi pasti mbak nila
kembali mengerang pelan karena gelitikan jariku. Bahkan kini bahu
daster yang satunya lagi pun sudah turun meloloskan dasternya hingga ke
perut, menyisakan mbak nila yang kini bertelanjang dada.
Desisan mbak nila entah kenapa
membangunkan lagi gairah setan yang seharusnya sudah reda tadi ketika
aku klimaks. Kini malahan aku asyik membalas dendam atas kejahilan mbak
nila tadi dan gantian memuntir-muntir kedua puting susunya. Mbak nila
kini yang berganti menggelinjang-gelinjang sembari berlutut di hadapanku
sambil menggigit bibirnya.
“Awwh.. geli don.. dendem ya kamu mbak godain tadi? Hmmm..” ujar mbak nila dengan binalnya
Dengan mesra dieganggamnya kedua
pergelangan tanganku seakan tak ingin tanganku lari kemana-mana selain
mempermainkan kedua pentilnya yang sudah sedemikian keras itu. Setelah
bermenit-menit akhirnya mbak nila menggeser tangan kananku dan
membawanya kebawah, tepatnya ke selangkangannya.
“Pinjem tanganmu lagi ya don..”
Kemudian ditaruhnya telunjuk dan jari
tengahku tepat di celana dalamnya. Aku terhenyak merasakan celana
dalamnya yang sudah terasa basah seperti terkena tetesan air. Perlahan
mbak nila menggerakan kedua jemariku tadi dengan gerakan menekan dan
mengorek. Badanku merinding ketika merasakan bibir vaginanya mencumbu
jariku dari luar cd.
“Uuhhhmm..” mbak nila mengerang ketika
jariku mengaduk lembut bibir kemaluannya dari luar cd. Dengan tidak
sabar mbak nila lalu menyusupkan tanganku kedalam celana dalamnya. Dan
dari situlah baru terasa betapa beceknya kemaluan mbak nila. Darahku
kembali berdesir kencang merasakan rimbunnya bulu kemaluan mbak nila,
apalagi ketika merasakan langsung belahan vertikal kemaluannya.
Dibimbingnya telunjukku menyusuri sudut-sudut rahasia yang selama ini
hanya milik mas sofyan.
“Iyaa… korek yang itu dohhn.. iyaaaah…” bisik mbak nila dengan wajah merah padam.
Aku yang masih dalam keadaan
planga-plongo hanya bisa mengikuti intruksi mbak nila dengan patuhnya.
Kutekan dan kujawil-jawil tonjolan daging yang berada di sudut atas
kemaluannya itu. Masih dengan rasa takjub kuperhatikan mbak nila yang
makin menggelinjang keasyikan dan menahan-nahan malu desahannya hanya
karena rangsangan daging secuil itu.
Akhirnya mbak nila pun makin tak kuat,
badannya tumbang merebah di kasur dan merenggangkan kakinya mempasrahkan
dirinya kepadaku. Namun tangannya masih mencengkram kuat pergelanganku,
seakan tak rela tanganku pindah kemana-mana selain mempermainkan
vaginanya. Begitu pula aku, akupun kala itu sudah tak lagi mampu
berpikir lurus ketika melihat mbak nila yang sudah hampir telanjang itu.
Badannya yang memang tak lagi kurus namun tetap semok, mengkilat karena
keringat yang menyucur deras. Payudaranya yang bulat bak pepaya,
tergolek bebas tanpa penutup dihiasi puting yang mencuat keras di kedua
pucuknya. Apalagi memeknya yang rimbun dan lembab itu tak henti-hentinya
pula meneteskan cairan bening di tanganku. Masih dengan birahi yang
meluap-luap, mbak nila kembali menuntun tanganku beraksi lebih liar
lagi.
“Jempolnya don.. uussh… iya utik-utik gitu… telunjuknya juga korekkkk… awwwwwwhhh…..”
Mbak nila dengan giatnya menggerakan
jempolku untuk lagi mengusap-usap klitorisnya. Telunjukku juga
dibantunya untuk memainkan lubang kemaluannya yang basah kuyup itu.
Dengan gerakan memutar, kulingkari dan kucelup-celup lembut dengan
telunjukku lubang yang menganga haus itu.
“Ammmmhhh…. iya gapapah.. korek aja donnhhh…”
Mbak nila mendesah dan mengaduh dengan
suara yang parau nan binalnya itu ketika telunjukku menelusup masuk
kedalam liang vaginanya. Meski awalnya sebatas kuku jari, namun rongga
kemaluannya yang senantiasa berkedut-kedut itu seakan mengisap jariku
masuk lebih dalam lagi. Hingga akhirnya lama kelamaan telunjukku masuk
seluruhnya kedalam vaginanya. Mbak nila dengan syahdunya menjejejak
pinggiran matrasku kuat-kuat ketika secara naluriah aku mengaduk-aduk
telunjukku didalam kemaluannya. Tak lupa jempolku juga masih terus
mengusapi klitorisnya habis-habisan. Akupun jadi makin bergairah dan
makin gemas melihat reaksi mbak nila. Kugerakkan jemariku dengan
bebasnya, kulengkungkan dan kukorek-korek memek mbak nila hingga ia kian
menggeliat-geliat bak cacing kepanasan.
“Terus donnnn.. terussss… ittuuuu..ituuuu……”
Mbak nila merengek-rengek manja ketika
telunjukku menemukan titik kelemahannya. Dan tentu saja tanpa ampun
terus kurangsang dan kuekslpoitasi titik g-spot nya itu. Mbak nila makin
nampak seperti kerasukan, dengan rambutnya yang terurai acak-acakan dan
dengan pandangan matanya yang sayu itu. Ia terus menggeram dalam-dalam
seiring naiknya tempo permainanku. Sambil menjambak dahinya mbak nila
menggigit bibirnya sendiri menahan ledakan dari dalam dirinya yang bisa
kapan saja terjadi.
Tak butuh waktu lama hingga akhirnya
mbak nila merintih lirih diiringi badannya yang mengejang kaku.
Pantatnya terangkat beberapa centi akibat goyangan pinggulnya ketika
rongga kemaluannya mengunyah-ngunyah habis telunjukku. Dengan takjub
kusaksikan bagaimana kemaluannya menyemburkan beberapa kali cipratan
kecil yang sepertinya adalah air seni, diikuti oleh membanjirnya lendir
bening yang menetes-netes ke liang anusnya serta ke kasurku.
“Nnggggggahhh…gghhgg..hhgg.g..hhh…..”
Selama beberapa detik jiwanya melayang
ke langit-langit, hingga akhirnya mbak nila jatuh kembali ke bumi.
Napasnya tersengal-sengal hebat seperti baru saja habis berlari puluhan
kilo. Badannya kini tak lagi kejang dan kaku seperti sebelumnya,
otot-ototnya melemas dan ia pun tergeletak tak bertenaga, menyisakanku
yang masih terkesima oleh kejadian yang baru saja terjadi di depan
mataku.
Sambil masih agak terengah-engah,
perlahan mbak nila mulai kembali kesadarannya. Meski dengan rambut kusut
awut-awutan, wajahnya nampak berbinar meskipun masih terlihat sangat
lelah dan bercucuran keringat. Bibir mungilnya menyimpulkan senyum kecil
sambil melirik kearahku setengah tersipu.
Secara natural akupun menyeka keringat di dahi dan pipinya, mbak
nilapun menyambut tanganku dan menggenggamnya mesra. Sampai saat itu aku
masih benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Aku masih hanya diam dan
terus mengusap rambutnya. Mbak nila dengan senyum khas keibuannya juga
masih menatapku lembut. Kami berdua masih terdiam tanpa suara. Hanya
sesekali terdengar napas mbak nila yang sedikit tersengal-sengal.
Di luar dugaan, mbak nila yang juga
sedari tadi mengusap-usap lembut dadaku kembali beralih turun tangannya.
Tangannya yang halus lagi-lagi meraba batang kejantananku.
“Don… Kok udah keras lagi sihh..” Ia bertanya dengan nada manja sembari mengelus-elus batang beruratku.
“Uffhss.. Mbak…” Ujarku lagi menahan rasa nyaman yang membuat kobaran gairahku terbakar lagi.
Disaat itu aku berusaha melepaskan diri
dari cengkraman perbuatan nista ini. Aku berkata pada diriku ini sudah
terlalu jauh. Namun ketika aku baru hendak beralih, mbak nila dengan
lincahnya melingkarkan kedua kakinya di pingggulku, sehingga aku tak
bisa kemana-mana. Dalam posisi terkunci itu mbak nila kembali menatapku
dengan tatapan penuh rayuan, tatapan yang membuatku nyaris lupa diri.
Lantas mbak nila merengkuh leherku
sehingga aku terkunci kian dekat dengan dirinya. Aku dapat merasakan
jelas hawa tubuhnya yang juga berkobar hangat, serta lengket keringatnya
yang makin melekatkan tubuhku dan tubuhnya. Dengan lihainya mbak nila
melonggarkan silangan kakinya di pinggangku, untuk kemudian mengunci
pinggulku sehingga bagian bawah tubuhku makin condong merapat ke bagian
bawah tubuhnya.
“Ahh.. Mbak nila.. Sudah mbak, s-st..”
“Sssst… Dikit aja don…”
Mbak nila memohon manja sembari
mengarahkan kepala penisku yang berada di genggaman tangannya tepat ke
arah liang vaginanya. Aku kehabisan kata-kata ketika merasakan untuk
pertama kalinya pucuk penisku bersinggungan dengan liang vaginanya.
Pertemuan antara daging dan daging yang terasa begitu hangat serta
becek, membuat pikiranku seketika kosong lagi.
“Aah..mbak.. Mbak…”
“Iya.. Iya sayang.. Cintai mbak sayang..”
Rengekan mbak nila, menghilangkan
keragu-raguanku dan mengubahnya menjadi semangat tempur. Kepala penisku
yang baru sedikit tercelup di kemaluannya segera kudorong dengan
beringas, hingga dalam sekejap mata hilang sudah setengah penisku masuk
kedalam liang kemaluannya.
“Aaaakhhh!!!”
Mbak nila membelalak matanya, spontan ia
menjambak rambutku menahan rasa terkejut dan sensasi dari penetrasi
penisku. Meski ia nampak shock, dengan cepat ia mengangguk-anggukan
kepalanya seakan memberi kode padaku untuk melanjutkan seranganku.
Akupun tanpa ampun mulai menggenjot kemaluannya. Dengan gagahnya kutarik
mundur pinggangku hingga penisku nyaris tercabut dari kemaluannya.
Namun sepersekian detik setelahnya segera kuhentakkan kuat-kuat
pinggangku kedepan.
“PLAKK!!”
“Auuffffghhhhhsssss..!!!”
Mbak nila mengaduh nikmat ketika
selangkanganku menampar permukaan selangkangannya kuat-kuat. Begitu
dahsyat hingga mentok penisku habis ditelan bulat-bulat oleh kemaluan
mbak nila. Kami berdua sudah mabuk kepayang, keenakan oleh sensasi
nikmat terlarang. Aku lupa bahwa wanita yang kugagahi ini adalah mbak
nila ku, dan ia pun lupa bahwa pria yang tengah menggagahinya itu
bukanlah suaminya.
“Eeerrghhmmmm.. Ssshh..sshh… PLAK PLAK PLAK”
Aku menggeram dan mengamuk memompa mbak
nila maju mundur. Badan mbak nila terguncang-guncang hebat akibat
gerakanku. Sensasi yang kurasa tak bisa kulukiskan. Bagaimana nikmatnya
batang penisku tergesek oleh dinding rapat vagina mbak nila. Begitu pula
rongga kemaluan mbak nila yang begitu sensitif digesek oleh sebongkah
daging berurat keras, keluar masuk dengan cepatnya.
Bermenit-menit berlalu nampaknya belum
ada satupun dari kami yang menyerah. Mungkin karena sebelumnya tadi aku
telah klimaks terlebih dahulu, maka kali ini aku mendapat energi dan
daya tahan lebih. Didorong oleh nafsu dan birahi yang meledak-ledak,
mbak nila kemudian mendorong dirinya untuk bangun dan duduk di
pangkuanku. Kini posisi kami berganti menjadi berpangkuan dan saling
berhadap-hadapan. Mbak nila makin liar dan birahi, hilang sudah mbak
nila yang biasanya berganti mbak nila yang kesetanan haus akan kepuasan.
Dengan posisi seperti itu mbak nila
berganti menjadi yang lebih agresif. Sembari melingkarkan kedua
tangannya di leherku, ia mulai berguncang naik turun memompa kemaluannya
di batang penisku. Akupun terpaksa bertumpu dengan kedua tanganku di
belakang badanku, mengimbangi goyangan mbak nila yang asyik menunggangi
diriku.
“Uufffhh.. Doniiihh.. Aaihhh.. Enyakkk..”
Mbak nila meracau dengan suara binalnya
yang tak lagi kukenal. Sementara aku dibawahnya hanya bisa memejakan
mataku dalam dalam sembari menengadah menikmati kebringasan dirinya.
“Sssh…. Legitt bangett mbakk..” Racauku.
“Mmmhhp.. Apa yang legitt sayanggg??” Tanya mbak nila sembari terus berguncang naik turun dengan liarnya.
“Mmhpp.. Mem..memeknya mbaa.. Sedepp legitttt…” Ujarku lagi setengah sadar.
“Mmm iyaa? Sukaa? Mmmwwaaacchh…” Balas mbak nila.
Koleksi Cerita Seks Birahi
| Entah bagaimana kami berdua bisa berbicara begitu kotornya, saling
melempar kata-kata vulgar tidak senonoh. Mbak nila mengakhiri kalimatnya
dengan mencium bibirku dalam-dalam, menghirup semua ludah dari dalam
mulutku. Dalam posisi vertikal seperti itu makin terasa saja nikmatnya
remasan rongga kemaluan mbak nila. Ditambah lagi dalam posisi itu
otomatis membuat cairannya makin tumpah ruah, membuat selangkangan kami
makin lengket dan rapat oleh cairannya.
Malam semakin larut dan keadaan semakin
hening, namun desahan dan racauan kami berdua masih membahana di dalam
kamar kosanku. Kami seakan tak peduli apabila ada yang mendengar dari
luar. Mbak nila semakin bersemangat mengejar klimaksnya yang kedua untuk
malam ini. Dijejal-jejalknya penisku dalam-dalam di memeknya hingga
mentok ke titik terdalam.
“Don… doooon… DOON!!!”
“Aaagggh.. mbaaaaaakkkkkkk…”
Sekejap mbak nila kembali mengejang
kaku, empotan memeknya membuatku luluh lantak. Kali ini kami orgasme
berbarengan. Tepat ketika banjir bandang dari vagina mbak nila menyiram
penisku, saat itu pula lah sperma ku menembak-nembak rahimnya. Lalu
seketika semuanya terasa makin gelap dan gelap, hingga akhirnya aku tak
kuat lagi dan merebahkan diriku di kasur, masih dengan posisi mbak nila
berpangku diatas diriku, dan kemaluan kami masih bertautan.
***
Aku terbangun dengan terkejut.
Badanku terasa lelah sekali, dan pegal-pegal luar biasa. Rasanya
seperti Hangover, kepalaku terasa ringan dan aku nyaris tidak bisa
mengingat kejadian tadi malam. Namun anehnya demamku hilang. Badanku
terasa segar sekali.
Namun aku nyaris melompat dan terjatuh
dari kasur melihat sesosok mbak nila yang masih terlelap tanpa pakaian
di sebelahku. Seketika semua ingatanku kembali, apa yang telah terjadi
semalam, bagaiamana detailnya, dan apa saja yang sudah kulakukan dengan
mbak nila. Sambil terhuyung-huyung, kuraih handukku dan kutinggalkan
mbak nila yang masih mendengkur pelan di kasur. Kukunci pintu kamar
mandi, dan kuguyur kepalaku dengan segayung air dingin.
Dalam hati aku rasanya ingin berteriak sekuat tenaga. Penyesalan yang kurasakan membuat dadaku sesak hingga tak bisa bernafas.
“Maafkan saya mas sofyan, gibran.. maafkan saya…..”
Terima
kasih telah membaca cerita sex di situs Cerita Seks Dewasa 365 yang
berjudul Semua Kisah Tentang Doni dan Mila. Nantikan kisah
hot lainnya yang setiap hari kami update untuk menambah birahi seksual
anda, pastikan bookmark situs Cerita Seks Dewasa 365 agar tidak lupa.
0 komentar:
Posting Komentar